13 Desember 2025

Media Ekspres

Mengulas Berita dengan Data Akurat

11 Warga Negara Belanda Pulang Kampung ke Tembilahan

Bagikan..

TEMBILAHAN (www.detikriau.org) – laki-laki paruh baya dengan bahasa Indonesia terpatah-patah ini begitu bersemangat berkisah pengalaman masa-masa kecilnya.  sekali-kali ia terdiam, matanya menerawang jauh mengingat kenangan lama. Perlahan suara yang keluar dari mulut Warga Negara Belanda ini pun semakin sayup. Disudut matanya, mengalir setitik air dan menetes dikulit pipi yang sudah tampak semakin mengeriput.

Herman Tahafary, laki-laki berusia 80 tahunan ini mengaku sengaja mengunjungi kota Tembilahan. Dalam kunjungan yang disebutnya pulang kampung ini, ia didampingi oleh 5 orang saudara kandung (Edwar Tahafary, Julius Tahafary, Johana Tahafary, Rita Tahafary dan Leon Kols Tahafari) dan 1 orang keponakan (Lota Hester Huwae Tahafary) serta 4 orang dari keluarga Nunumete (Hanock Nunumete, Edward Nunumete, Johan Nunumete dan Ghisi Nunumete) . Kesebelas orang keturunan ambon, Maluku ini mengaku kini bertempat tinggal di Denhag, Belanda.

69 tahun silam, tepatnya di tahun 1943, Herman Tahafary mengaku orang tuanya (Tahafary. Red) yang tergabung dalam tentara rekruitmen Belanda bertugas di Tembilahan sebagai peniup terompet pasukan. Ia sempat mengecam pendidikan hingga kelas lima Sekolah Rakyat (SR) di Kota Tembilahan.  Di tahun 1948, keluar keputusan yang mengharuskan seluruh tentara yang direkruitmen Belanda untuk pulang ke daerahnya masing-masing.

Hanya saja saat itu, masih menurut Herman Tahafary, karena sulitnya tranportasi, mereka tidak bisa pulang ke Ambon, Pasukan Belanda membawa keluarganya pulang ke negeri Belanda. Awalnya hanya dibenarkan untuk jangka waktu 5 bulan namun akhirnya kebijakan itu kembali berubah lagi dan mereka dibenarkan untuk menetap di Belanda.

Di Negara Kincir angin itu, keluarga Tahafary ditempatkan disebuah camp bekas tahanan orang-orang Yahudi.”Saat itu saya sudah cukup besar dan mengerti. Kehidupan sangat sulit. Kita sama sekali tidak dibekali dengan persediaan makanan,” Kisah Herman Tahafary kepada detikriau.org  saat bertemu disebuah warung minum jalan Gadjah Mada Tembilahan, rabu (19/9) kemaren.

Untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga, orang tuanya mau tidak mau harus mencari nafkah. Mereka bekerja apa saja. Dari seluruh upah yang diterima setiap harinya, mereka masih dikenakan potongan penghasilan sebesar 60 persen,” Kira-kira penghasilan orang tua saya 1 gulden per hari. Uang itulah yang dicukupkan untuk makan seluruh keluarga.” Kata Herman Tahafary yang mengaku saat itu ia baru memiliki dua orang saudara kandung.

Berpuluh tahun di Negara orang, kenangan masa-masa kecil Herman Tahafary sewaktu di Tembilahan sangat sulit untuk ia lupakan. Semakin hari, kerinduan itu semakin memuncak di dalam lubuk hatinya. Herman mengaku selama ini selalu mendapatkan informasi mengenai kota Tembilahan melalui internet.”saya sering browsing dibeberapa media online mencari tahu tentang kota Tembilahan. Saya sungguh tidak percaya, Tembilahan yang dulunya hanya sebuah kampung kecil, kini sudah demikian maju. Bahkan menurut informasi terakhir penduduknya lebih dari 600 ribu jiwa. itu sudah melebihi penduduk di Denhag,” Tutur Herman dengan sekali-kali lepas tertawa dari mulutnya dan kembali air matanya tergenang.

Mengaku Masa Kecil Takut Dengan Hantu Kuntilanak

Kisah Herman tahafary, sewaktu masih bersekolah di SR (sekarang bangunan Sa’adah Jalan Kartini Tembilahan. red), untuk menuju sekolah, dari Asrama Tentara (yang diakuinya disekitar jalan Sudirman) ia harus melewati pohon beringin yang sangat besar ( ia menunjuk kira-kira posisinya disekitar taman disamping Mapolres Inhil saat ini.red). Setiap kali melintas pohon beringin besar itu, ia mengaku selalu takut. Karena menurut kisah penduduk, dipohon beringin itu dihuni hantu kuntilanak,”Dulu seingat saya di Tembilahan ini hanya ada sedikit jalan dan nama jelannyanyapun tidak pernah ada. Sebahagian besar kampung Tembilahan masih  hutan. Orang-orang bilang, itu hantu kuntilanak senang sama anak laki-laki. Makanya setiap kali melintasi pohon beringin itu, saya selalu lari terbirit-birit,” Kisah Herman dan sontak tawa renyai lepas dari mulutnya.

Hermanpun terus berkisah dan sekali-kali diselingi beberapa komentar dari saudara-saudaranya. Menurut Herman, keluarga nunumete yang kini ikut bersamanya dulunya juga orangtuanya bertempat tinggal di Tembilahan.”Sampai hari ini, kartu penduduk belanda adik saya Julius yang memang dilahirkan di Tembilahan masih mencantumkan nama kota Tembilahan sebagai tempat kelahirannya.”Ucap Herman dengan nada suara tertangkap penuh rasa kebanggaan setiap kali menyebutkan nama kota Tembilahan. (dro/0*)