PEKANBARU (www.detikriau.org)- Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari), Greenpeace, Riau Corruption Trail, dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Pekanbaru mengeluarkan laporan analisa fakta persidangan kasus korupsi yang melibatkan sejumlah pejabat pemerintahan di Riau. Analisa dilakukan setelah palu hakim di Pengadilan Negeri Pekanbaru menyatakan mereka sebagai terpidana kasus korupsi kehutanan di Riau.
Berdasarkan fakta-fakta di persidangan, Jikalahari, Greenpeace, Riau Corruption Trail, dan AJI Pekanbaru mendorong untuk dibukanya kembali penyelidikan kasus 14 perusahaan Hutan Tanaman Industri (HTI) di Riau, yang dampaknya akan bisa menyelamatkan sedikitnya 60 ribu hektare lahan hutan.
‘’Fakta persidangan, penangganan korupsi kehutanan yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam tiga tahun terakhir ini memperkuat dugaan bagaimana tindakan korupsi dilakukan oleh perusahaan bersama pejabat pemerintah daerah untuk meloloskan berbagai perizinan bisnis yang secara sistematis telah menghancurkan hutan Riau,’’ kata Muslim Rasyid, Koordinator Jikalahari didampingi Ketua AJI Pekanbaru Ilham Muhammad Yasir, Koordinator Riau Corruption Trail Made Ali saat konfrensi pers, Kamis (28/6).
KPK menurut Muslim Rasyid harus segera mengarahkan penyidikan dan pengungkapan kasus korupsi 14 perusahaan pemasok kayu di Riau yang telah dihentikan penyelidikannya oleh Polda Riau. Pengungkapan unsur korupsi, kata Muslim dalam proses mengeluarkan perizinan oleh sejumlah pejabat di Riau adalah pintu masuk untuk mengusut keterlibatan perusahaan. ‘’Fakta sidang memperkuat keterlibatan itu,’’ imbuhnya.
Dalam fakta persidangan juga terungkap kerugian negara dari dugaan korupsi kehutanan mencapai lebih dari Rp2 ribu triliun dengan perhitungan nilai kayu yang hilang Rp73 triliun dan nilai kerusakan lingkungan sebesar Rp1.994 triliun.
‘’Putusan hakim pada kasus korupsi kehutanan di Pelalawan dan Siak menunjukkan dugaan bahwa perusahaanlah yang memiliki inisiatif pertama memberikan sejumlah uang kepada Azmun Jaafar, Arwin AS, Asral Rachman dan Suhada Tasman agar IUPHHKT-HTI dan RKT diterbitkan. Pemberian gratifikasi jelas dilakukan oleh mereka,” papar Muslim.
Jurukampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Rusmadya Maharuddin menambahkan, wilayah konsesi 14 perusahaan itu sebesar 194 ribu hektare hutan. Dari luas tersebut hutan gambut yang telah dihancurkan 100 ribu hektare dan hutan alam seluas 30 ribu hektare. ‘’Namun jika SP3 dicabut dan penyidikannya dilanjutkan maka potensi hutan gambut Riau yang bisa diselamatkan sebesar 60 ribu hektare,’’ ungkap Rusmadya.
Sebelumnya, sekitar Juni 2011, berdasarkan kajian yang dilakukan Satgas Pemberantasan Anti Mafia Hukum, Satgas sudah pernah menyurati Kapolri untuk membuka kembali SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan) 14 perusahaan kehutanan di Riau yang dinilai bertentangan dengan hukum tersebut.
“Penyelamatan hutan hujan Indonesia dapat dilakukan juga melalui penegakkan hukum yang seharusnya mampu melindungi kekayaan alam dan habitat satwa penting seperti harimau Sumatra, gajah Sumatra dan lainnya yang satwa tersebut kini terancam punah. Membongkar kembali kasus keterlibatan 14 perusahaan dapat mengembalikan harapan masyarakat pada keadilan hukum,” kata Rusmadya.
Menurut Rusmadya, perusahaan global telah memutuskan kontrak dengan perusahaan bubur kertas di Riau karena buruknya operasi perusahaan. Hal ini kata Rusmadya untuk mendorong kembali penegakkan hukum di sektor kehutanan sepertimana komitmen Presiden SBY mengurangi emisi dan memperkuat citra sektor ekonomi di Indonesia dan menyelamatkan hutan Indonesia dari kehancuran lebih lanjut.(rls)


BERITA TERHANGAT
PGRI Riau dan Polda Riau Sepakat Perkuat Perlindungan Hukum Guru dan Gerakan Green Policing
Polda Riau Lanjutkan Operasi PETI di Inhu, Dorongan Masyarakat Jadi Spirit Utama
Sidang Praperadilan Aldiko Putra Kembali Ditunda, Polres Kuansing Dinilai Gagal Menyiapkan Pembelaan