11 Desember 2025

Media Ekspres

Mengulas Berita dengan Data Akurat

Batasi Penggabungan Pilkada 90 Hari, Mendagri soal Wacana Pilkada Serentak

Bagikan..
JAKARTA – Wacana pelaksanaan pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak terus bergulir. Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Gamawan Fauzi menegaskan, penggabungan pemungutan suara bisa dilakukan jika waktu pelaksanaan sejumlah pilkada berdekatan, yakni rentang 90 hari.

“Di PP (PP 49/2008, Red) yang berdekatan 90 hari bisa digabung. Itu bisa ditarik ke atas atau bawah,” kata Gamawan di Kompleks Istana Kepresidenan, kemarin (27/8). “Serentaknya itu bisa per wilayah,” imbuhnya.

Gamawan mencontohkan pelaksanaan pilkada di Provinsi Aceh yang menggabungkan pilgub dan 17 pilkada tingkat kabupaten. Selain itu, pilkada serentak di Sumatera Barat (Sumbar) yang menggabungkan pilgub, 11 pilbup, dan pilwali. “Dengan demikian, TPS yang tadinya dua itu jadi satu. Jadi gubernur tidak usah buat TPS khusus lagi,” terangnya.

Dengan metode itu, dia menyebut akan menghemat pengeluaran biaya. Termasuk jumlah petugas dan waktunya. “Kalau serentak nasional, itu lebih hemat lagi,” kata mantan gubernur Sumbar itu.

Gamawan menegaskan, pelaksanaan pilkada serentak itu tidak memengaruhi masa jabatan kepala daerah yang tengah menjabat. “Di SK yang dibuat kan (masa jabatan) lima tahun. Undang-undang juga menyebut lima tahun,” tandasnya.

Begitu juga jika pilkada digelar setelah masa jabatan kepala daerah habis, akan ditunjuk penjabat sementara (pjs) untuk mengisi posisinya. Dengan kondisi seperti itu, tidak ada incumbent saat pilkada dilangsungkan. “Dia tidak dipilih dalam masa jabatan lagi karena sudah melepaskan jabatan. Ditunjuk pjs beberapa bulan supaya bisa serentak,” terang Gamawan.

Secara terpisah, Ketua DPP PAN Bima Aria Sugiarto menyampaikan, wacana pilkada serentak memang menarik. Dia mengakui, bila berhasil direalisasikan, pilkada serentak akan membawa efek positif. Di antaranya, penghematan biaya dan mengatasi kejenuhan akibat banyaknya pelaksanaan pemilu. “Tapi, ada sejumlah hal yang harus dikaji serius,” kata Bima kemarin.

Dia mencontohkan apakah serentak itu berbasis nasional atau regional (provinsi). Menurut Bima, sebaiknya konteks serentak itu digelar pada level provinsi. Jadi, pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota di internal provinsi bersangkutan digelar secara bersamaan. “Sangat berbahaya kalau nasional, karena akan menimbulkan dampak bagi stabilitas sosial politik. Basis provinsi lebih baik,” ujarnya.

Dia juga tidak sepakat bahwa pilkada serentak itu digabung dengan pemilu nasional. “Karena isunya,pasti jadi tidak fokus,” kata Bima lagi.

Selain itu, lanjut Bima, fase transisi menuju pilkada serentak juga harus ditata dengan baik. Jangan sampai timbul gejolak dan politisasi yang justru menghambat pembangunan di daerah. Salah satunya terkait penunjukan pelaksana tugas (plt) untuk mengisi jabatan kepala daerah yang berakhir masa jabatannya sebelum digelar pilkada serentak. “Penunjukan plt itu rawan politisasi, isu netralitas, dan dapat menimbulkan masalah dalam pemerintahan daerah terkait dengan batasan kewenangannya,” ingat Bima.

Sebagai prakondisi pilkada serentak dengan basis provinsi, Bima mengusulkan supaya pilkada 2013 tidak diundur. Namun, pelaksanaannya diatur serentak pada Juni 2013.

Rencana pilkada serentak muncul pascarencana Kementerian Dalam negeri untuk memundurkan sejumlah pilkada yang digelar pada 2014. Rencana memundurkan pilkada itu terkait adanya gelar pemilu legislatif dan pemilu presiden sepanjang 2014. Kemendagri berencana memasukkan poin penundaan itu dalam revisi UU Pilkada.

Rencana memundurkan pilkada sontak memunculkan kembali ide digelarnya pilkada serentak. Sejumlah fraksi mendorong agar aturan memundurkan pilkada dibarengi rencana pilkada serentak. Mayoritas fraksi sepakat bahwa pilkada serentak akan jauh menghemat anggaran.(jpnn)