10 Desember 2025

Media Ekspres

Mengulas Berita dengan Data Akurat

BBM Belum Naik, Kebutuhan Pokok Sudah Meroket

Bagikan..

bbmTembilahan (detikriau.org) – Meski harga BBM belum naik, saat ini sejumlah kebutuhan pokok sudah melonjak tajam. Kondisi seperti ini tentunya akan semakin memberatkan masyarakat.

Pengakuan salah seorang pemilik toko jalan Bahruddin Jusuf Kecamatan Tembilahan mengaku, dalam seminggu belakangan ini, harga jual beras ditokonya mengalami kenaikan sekitar 20 persen dari harga biasanya termasuk berbagai barangan dagangan lainya. Ia menyebutkan kenaikan ini sebagai antisipasi rencana kenaikan BBM oleh pemerintah.

“dari pemasok harga beli kita juga sudah meningkat. Jualnya pastinya juga akan mengikuti. Kita kini belum bisa memprediksi berapa kenaikan rilnya setelah perubahan harga BBM nantinya. ” sampaikannya kepada detikriau.org, minggu (16/11/2014)

Kenaikan harga kebutuhan masyarakat ini hampir terjadi pada semua komoditas. Kondisi seperti ini banyak mendapatkan keluhan masyarakat. Ironisnya kenaikan BBM di dalam Negri terjadi saat harga minyak dunia mengalami penurunan tajam.

Hingga penutupan perdagangan akhir pekan ini, Jumat (14/11/2014) harga minyak mentah acuan WTI spot berada di level US$ 75,82 per barel, sehari sebelumnya sempat meenyentuh level US$ 74,21 per barel. Level tersebut terendah selama kurang lebih empat tahun terakhir. Harga minyak mentah sempat berada di level US$ 71,24 pada 24 Agustus 2010.

Di satu sisi, sejumlah pengamat menyebutkan perubahan harga BBM tidak tergantung harga minyak mentah dunia karena itu akan berarti mengikuti mekanisme pasar. Namun di sisi lain, faktanya sejak era pemerintahan Megawati, perubahaan (kenaikan) harga minyak mintah dunia memicu perubahan harga BBM bersubsidi.

Pada era Megawati, ketika harga minyak mentah dunia menyentuh level US$ 32,68, BBM bersubsidi pun ikuti naik, premium naik Rp 100 dari Rp 1.450 menjadi Rp 1.550 per liter dan solar naik Rp 250 menjadi Rp 1.150 per liter. Pada 2003, ketika minyak mentah dunia menyentuh level tertinggi US$ 37,96, premium ikut naik Rp 260 menjadi Rp 1.810 per liter dan solar menjadi Rp 1.890 per liter atau naik Rp 740.

Memasuki era pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono (SB) – Jusuf Kalla (JK), kenaikan harga BBM bersubsidi lebih lagi. Selama tiga kali kenaikan BBM subsidi pada era tersebut, mencapai hingga 300 persen. Pada Maret 2005, ketika minyak mentah dunia menyentuh level US$ 56,8 per barel, kenaikan BBM bersubsidi premium sebesar RP 590 menjadi Rp 2.400 per barel dan solar naik Rp 210 menjadi Rp 2.100 per liter.

Selang delapan bulan berikutnya, tepatnya Oktober 2005, premium naik tajam Rp 2.100 menjadi Rp 4.500 per liter dan solar naik Rp 2.200 menjadi Rp 4.300 per liter. Saat itu harga minyak mentah kembali menyentuh level tertinggi di harga US$ 69,91 per barel.

Kenaikan ketiga kalinya pada era SBY-JK, terjadi pada 2008, di mana kala itu harga minyak menyentuh level tertinggi sepanjang sejarah ke harga US$ 145,31 per barel. Pemerintah pun menaikkan BBM bersubsidi premium naik Rp 1.500 menjadi Rp 6.000 per liter sedangkan solar naik Rp 1.200 menjadi Rp 5.500.

Pada periode keduanya Presiden SBY yang didampingi wapres Boediono pada periode 2009-2012 kembali menurunkan harga BBM bersubsidi premium kembali ke level Rp 4.500 dan solar pun kembali ke level Rp 4.500 per liter. Saat itu harga minyak mentah dunia berangsur turun dan menyentuh level tertinggi pada periode tersebut di harga US$ 113,39 per barel.

Lalu bagaimana harga minyak dunia 2014 ini setelah pergantian tampuk pimpinan nasional ke Presiden Joko Widodo dan Wapres Jusuf Kalla? Minyak dunia sebetulnya meluncur tajam hingga menyentuh level terendah selama kurang lebih empat tahun terakhir dengan harga US$ 74.2 per barel pada perdagangan Kamis (13/11/2014).

Meski demikian Presiden Jokowi merencanakan akan menaikan harga BBM bersubsidi sekitar Rp 1.500 – Rp 3.000. Hal itu berarti harga BBM bersubsidi akan berada di kisaran Rp 8.000 – Rp 9.500 per liter. Pertanyaannya kenapa kenaikan harga BBM bersubsidi begitu drastis? Padahal Negara bisa meraup untung sekitar US$ 25 per barel, mengingat asumsi harga minyak mentah pada APBN-P 2014 mencapai US$ 106 per barel.

Namun sejumlah pengamat juga tetap berpendapat tingginya subsidi minyak diatas Rp 300 trilyun terlalu besar dan terlalu memberatkan APBN. Oleh karenanya subsidi BBM harus dipangkas. (dro)