
Tembilahan (detikriau.org) – DPRD Inhil meminta agar masyarakat selalu mengedepankan sikap kehati-hatian dalam menanggapi tawaran kerjasama oleh perusahaan perkebunan yang ingin berinvestasi di Kab Inhil. Ia menilai hari ini banyak perusahaan dalam operasionalnya tidak lebih layaknya seperti penjajahan.
Perumpamaan ini disampaikan oleh Ketua Komisi II DPRD Inhil, Ir Junaidi dalam rapat dengar pendapat (rdp) dengan perwakilan masyarakat Desa Pandan Sari Kecamatan Sungai Batang diruang rapat komisi II gedung DPRD Inhil, Jalan HR Subrantas Tembilahan. Senin (25/8/2014) kemaren
Menurut Junaidi, hal terpenting yang harus dilakukan masyarakat adalah menilai pola bagi hasil yang ditawarkan oleh calon perusahaan. “ini yang terpenting yang harus mendapatkan perhatian. apakah lebih menguntungkan perusahaan atau memberikan keuntungan bagi kedua belah pihak. Intinya kalau bermitra, atau lazim dikenal masyarakat kita dengan istilah “karun” haruslah menghasilkan kesepakatan yang saling menguntungkan,” Ujar Junaidi.
Hari ini dijelaskan Junaidi, ia banyak mendapatkan pengaduan masyarakat bahwa kebanyakan perusahaan menawarkan kerjasama dengan bahasa manis “kemitraan”. Pola bagi hasilnya, misalnya petani si “A” yang memiliki 2 Ha tanah, pembagiannya, petani 1 Ha dan Perusahaan 1 Ha. Seluruh biaya pengolahan kebun hingga berproduksi ditanggung oleh perusahaan. Namun anehnya, biaya pembangunan kebun yang 1 Ha itu harus dikembalikan petani dengan cara angsuran dengan potongan secara bertahap hasil panen.
“Ini yang saya nilai penjajah. Sudahlah perusahaan mendapatkan bagian tanah 1 bagian, biaya pembangunan kebun masyarakatpun tidak diberikan dengan gratis tetapi ditarik kembali secara angsuran,” Jelas Junaidi
Junaidi juga memberikan perumpamaan pemikiran sederhanya. di Tembilahan, jika berkarun membangun ruko, benar pemilik lahan harus menyerahkan sebahagian tanah miliknya namun seluruh biaya pembangunan ruko tidak lagi dikembalikan kepada si pengarun.
Senada, anggota Komisi II DPRD Inhil, Zulkarnaen menyampaikan bahwa prinsip kemitraan antara perusahaan dan petani adalah, lahan milik masyarakat tidak diperbenarkan untuk dijual dan perusahaan juga tidak dibenarkan untuk membeli. Biaya pembangunan kebun masyarakat dikembalikan secara bertahap dengan menambahkan persentase keuntungan tertentu kepada perusahaan secara bertahap.
“Artinya kalau lahan petani 2 Ha, ya harus 2 Ha. Tetapi biaya pembangunannya yang dikembalikan secara bertahap kepada perusahaan dengan menambahkan persentase keuntungan tertentu,” Jelas Zulkarnaen
Ia juga meminta persoalan pola bagi hasil ini yang benar-benar harus diperhatikan. Jangan sampai nantinya masuknya perusahaan yang diharapkan akan memberikan dampak perobahan baik bagi perekonomian masyarakat justru berbuah kesusahan didepannya.
“cukup sudah apa yang terjadi di desa pugkat dan beberapa desa lainnya di Inhil. Masyarakat harus lebih kritis dan teliti jangan mau terbujuk dengan pola bagi hasil yang merugikan,” Ujar Zulkarnaen.
Anggota Komisi II DPRD Inhil lainnya, Edi Haryanto justru berpraduga yang lebih kritis. Ia menilai kerusakan areal perkebunan kelapa rakyat yang tidak kunjungi diperbaiki oleh pemerintah seakan disengaja dipermainkan dalam sebuah skenario. Rusaknya areal perkebunan yang secara otomatis tidak lagi memberikan keuntungan ekonomi bagi petani tentunya akan sangat mudah untuk dibujuk dengan iming-iming manis investor “abal-abal tak bermodal”.
“saya menduga seperti itu. Tak perlu kerusakan kebun masyarakat diperbaiki biar nanti perusahaan mudah untuk masuk dan membeli tanah masyarakat. Mungkin skenarionya seperti itu.” Sindir Edi. (dro)


BERITA TERHANGAT
Usulan Pinjam 200 M Ditolak DPRD, Ketua PAN Inhil : Segala yang Baik Lahir dari Persiapan yang Matang
Sekretaris Komisi IV DPRD Inhil Hadiri Upacara Hari Sumpah Pemuda Ke-97 Tahun 2025
Ketua DPRD Inhil Serap Aspirasi Warga Lewat Reses III di Jalan Raja Ali Haji, Tirta 1, Masyarakat Menyampaikan Perbaikan Infrastruktur dan Rehabilitasi Surau Almuklisin