Pekanbaru (www.detikriau.org) — Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Pekanbaru bekerjasama dengan Scale Up kembali mengadakan diskusi tentang penyelesaian konflik sumber daya alam di Riau. Kali ini menghadirkan Yohanes Soepama dari Kanwil Badan Pertanahan Nasional (BPN) Riau, Abdul Thalib SH, MCL, PhD, dosen Fakultas Hukum UIR, dan Mumu Muhajir dari Epistema Institute Jakarta di lantai IV Hotel Aziza Jalan Tuanku Tambusai Pekanbaru. Sementara narasumer dari Polda Riau tidak hadir,meski sebelumnya sudah didisposisi Kapolda Riau.
Yohanes Soepama menyampaikan tentang perspektif konflik dan pentingnya kelembagaan serta mekanisme penyelesaian konflik sumber daya alam, khususnya konflik pertanahan.
Menurut Yohanes, ada sepuluh sumber konflik pertanahan di Riau. Salah satunya adalah pemekaran wilayah. Timbulnya konflik disebabkan karena tidak jelasnya batas wilayah setelah dilakukan pemekaran.
“Sembilan lainnya yang menjadi sumber konflik pertanahan di Riau yakni, tata ruang wilayah yang belum padu serasi, pemalsuan surat, perubahan nilai tanah, adanya tanah terlantar, alas hak tanah ganda, pengalihan lahan ganda, penyerobotan lahan, putusan pengadilan dan perizinan yang tumpang tindih,” ungkap Yohanes.
Sedangkan BPN, sudah memiliki mekanisme dalam menyelesaikan konflik pertanahan ini. BPN menangani konflik pertanahan dengan melakukan penelitian data pengaduan, penelitian lapangan, penyelenggaraan gelar kasus, penyusunan risalah pengolahan data, penyiapan berita acara, dan monitoring dan evaluasi terhadap hasil penanganan konflik.
Mumu Muhajir dari Epistema Institute menyampaikan tentang, menuju kepastian dan keadilan tenurial, (pandangan kelompok masyarakat sipil Indonesia tentang prinsip, prasyarat dan langkah mereformasi kebijakan penguasaan tanah dan kawasan hutan di Indonesia).
Menurut Mumu, kepastian tenurial maksudnya, tersedianya sistem hukum dan kebijakan yang jelas untuk memberikan hak yang kuat dan terlindungi bagi seluruh kelompok pengguna hutan.
“Sedangkan keadilan tenurial yakni meluasnya akses kelompok masyarakat miskin pada kawasan hutan, tidak tereksklusi dari proses kebijakan, memperoleh manfaat nyata dari akses itu,” jelas Mumu.
Abdul Thalib menyampaikan tentang, perspektif konflik dan pentingnya kelembagaan serta mekanisme penyelesian konflik sumber daya alam. Menurut Abdul Thalib, Presiden Soekarno saat awal pemerintahannya menyampaikan bahwa Indonesia adalah negara kebangsaan yang mengakui hukum adat dan hak ulayat.
“Untuk itu, di Riau diperlukan peran Lembaga Adat Melayu (LAM) Riau dalam menyelesaikan konflik pertanahan. Bagaimana LAM bisa menjadi tuan rumah dalam menyelesaikan konflik lahan di masyarakat, sehingga penyelesaian konflik tidak marugikan masyarakat,” jelas Abdul Thalib. (rls)


BERITA TERHANGAT
PGRI Riau dan Polda Riau Sepakat Perkuat Perlindungan Hukum Guru dan Gerakan Green Policing
Polda Riau Lanjutkan Operasi PETI di Inhu, Dorongan Masyarakat Jadi Spirit Utama
Sidang Praperadilan Aldiko Putra Kembali Ditunda, Polres Kuansing Dinilai Gagal Menyiapkan Pembelaan