“ diharapkan bukan sekadar seremonial yang kering makna dan tak memiliki implikasi apa-apa kecuali sebagai media “Penobatan” anggota dewan terpilih”
detikriau.org – Pengucapan sumpah dan janji (PSJ) merupakan rangkaian akhir dari seluruh tahapan penyelenggaraan Pemilu Legislatif. Proses panjang yang dimulai dari pendaftaran pemilih, pendaftaran peserta pemilu, penetapan Kampanye, pemungutan dan penghitungan suara dan penetapan hasil pemilu ini merupakan kerja konstitusional penyelenggara pemilu yang cukup menyita tenaga, pikiran dan biaya.
Hakikat sumpah/janji adalah tekad untuk memperjuangkan aspirasi rakyat yang diwakilkan dan memegang teguh Pancasila dan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 dan peraturan perundang-undangan yang mengandung konsekuensi, berupa kewajiban dan tanggung jawab yang harus dilaksanakan oleh setiap anggota DPRD.
Tentu menjadi harapan semua pihak, bahwa PSJ bukan sekadar seremonial yang kering makna dan tak memiliki implikasi apa-apa kecuali sebagai media “Penobatan” anggota dewan terpilih.
PSJ setidaknya mengandung dua makna penting, yakni makna ketuhanan dan makna kerakyatan.
Ikrar Ketuhanan
“Demi Allah (Tuhan) saya bersumpah bahwa saya akan memenuhi kewajiban saya sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten / Kota dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya; bahwa saya akan memegang teguh Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta peraturan perundang-undangan; bahwa saya akan menegakkan kehidupan demokrasi serta berbakti kepada bangsa dan negara; bahwa saya akan memperjuangkan aspirasi rakyat yang saya wakili untuk mewujudkan tujuan nasional demi kepentingan bangsa dan negara kesatuan Republik Indonesia diatas kepentingan pribadi dan golongan”.
Bunyi teks sumpah/janji anggota DPRD sebagaimana tertuang dalamUU No. 22 Tahun 2003 ini menjadi momentum sakral sebagai media ikrar dan kesaksian seorang hamba terhadap Khalik untuk menjalankan kewajiban apa yang tertuang dalam teks sebuah sumpah.
Dalam tradisi pesantren, penggunakan huruf wawu pada kata Wailahi berfungsi untuk sumpah (wawu qasam) sehingga diindonesiakan bermakna “Demi Allah/Tuhan”, di mana Tuhan sendiri dalam Alquran selalu menggunakan huruf/kata ini (wawu/demi) pada setiap sumpahnya.
PSJ dimaknai bahwa Anggota DPRD mengadakan sebuah kontrak langsung dengan Tuhan. Mereka memikul amanat Tuhan dan akan bertanggung jawabkan kelak di hari pembalasan.
Pemahaman dan kesadaran demikian diharapkan bisa menopang dan menjadi inspirasi yang mampu menjiwai kedalamam hati, bahwa senantiasa dalam interaksi dan pengawasan Tuhan.
Dalam kontek inilah, tugas-tugas konstitusional yang akan diemban diharapkan bisa berjalan secara amanah; sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, bukan semata-mata “paksaan” atau karena pengawasan dari komunitas di luarnya yang bersifat eksternal-lahiriah, juga bukan faktor takut terkena sanksi diberhentikan antar waktu, melainkan benar-benar didasari kemauan baik dan kejujuran nurani yang bersumber dari dorongan internal-batiniah, sebuah kesadaran moral-eskatologis yang bersifat transendental teologis.
Inilah wujud komitmen ketuhanan atas sumpah yang kesaksiannya secara sadar mengatasnamakan Tuhan.
Ikrar Kerakyatan.
Komitmen ketuhanan yang bersumber pada kesadaran moral- eskatologis dan transendental- teologis tadi pada akhirnya haruslah “dibumikan” kedalam komitmen kerakyatan sebagai aktualisasi untuk membangun kontrak sosial bersama rakyat.
Kontrak sosial bersama rakyat tidak cukup dengan teks-teks simbolik-retorik berupa slogan dan janji-janji kosong tanpa fakta.
Undang-Undang tentang Susunan dan Kedudukan DPRD sendiri sesungguhnya sudah gamlang. Disamping tertuang kewajiban-kewajiban anggota dewan yang antara lain menyerap, menghimpun, menampung dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat. Tentu penggunaan kata “akan ditindaklanjuti” bukan basa-basi politik, bukan pula satu cara mengkaburkan satu persoalan yang sampai pada suatu ketika persoalan tersebut sengaja dilupakan. Tetapi benar-benar sebuah perjuangan tanpa kenal lelah, bila perlu sampai titik darah penghabisan dalam menjalankan amanah rakyat.
Fungsi-fungsi legislasi, anggaran dan pengawasan serta berbagai kebijakan lain dari Lembaga DPRD, karenanya harus derelevansikan dengan kemaslahatan umat/rakyat. Untuk itu pengguna kata-kata “demi rakyat”, “atas nama rakyat”, karena mayoritas rakyat”, juga tidak pada tempatnya dijadikan amunisi dan justifikasi untuk menggolkan kepentingan-kepentingan pragmatis jangka pendek dan sesaat bagi keuntungan personal, kelompok maupun institusional.
Untuk memperoleh tempat serta kepercayaan di hati rakyat, maka melakukan komunikasi politik secara baik dan intensif dengan rakyat oleh individu-individu maupun institusi DPRD, merupakan keharusan yang tidak bisa ditawar.
Paling tidak dengan konsep Daerah Pemilihan (DP), maka secara moral dan politis mereka wajib memberikan pertangungjawaban kepada pemilih di DP yang bersangkutan.
Interaksi komunikatif ini akan optimal dan bermakna manakala para wakil rakyat itu mampu melakukan penyesuaian diri, bersikap insklusif dan penuh keterbukaan yang tinggi dengan rakyat tanpa menghilangkan semangat kritisisme rakyat itu sendiri.
Itu semua dalam rangka untuk menciptakan kesejahteraan, menghilangkan kesenjangan dan kebuntuan politik serta membangun budaya demokrasi dialogis.
Bagaimanapun wakil rakyat kita bukan malaikat, yang karenanya segala gerak tingkahnya tidak bisa dipandang akan selalu membawa “pahala” dan “kebahagiaan”. Namun mereka juga juga bukan setan, yang karenanya segala kebijakan dan gerak tingkahnya tidak boleh dipandang akan membawa “dosa” dan “kesengsaraan”.
Sebagai wakil rakyat, maka bahasa dan kultur yang dibangun harus “bersetubuh” dengan bahasa dan kultur rakyat.(*)


BERITA TERHANGAT
Kisah Hidup: Introveksi Diri Sebelum Sesal Tiba.
Doa Tatkala Dirundung Gundah, Sedih, dan Perasaan Tak Menentu
Ustaz Arifin Ilham: Sudah tidak Shalat Shubuh, Tapi Rayakan Kemirisan