PEKANBARU (www.detikriau.org) – Penyelenggaraan Workshop Advokat Berperspektif Pers yang digelar oleh LBH Pers Jakarta bekerja sama dengan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Pekanbaru, menghasilkan satu kesepakatan bersama membentuk Forum Advokasi Pers Riau (FAPER).
Forum ini merupakan perkumpulan beranggotakan para jurnalis dan advokat. Kesepakatan lainnya, akan melakukan pertemuan dengan Tim Advokasi Wartawan Riau, terkait kasus kekerasan oleh TNI AU, Oktober 2012 silam.
“Melakukan follow up antara Dewan Pers dengan Kapolri di wilayah hukum Polda Riau dan mengirim surat pemberitahuan sudah terbentuknya FAPER kepada seluruh media massa dan organisai jurnalis,” kata Koordinator FAPER, Mayandri Suzarman, Minggu (24/3), di Hotel Ibis.
Workshop ini diselenggarakan selama dua hari, Sabtu-Minggu, dengan peserta para jurnalis, advokat dan empat pemimpin redaksi media massa di Pekanbaru. Inisiator FAPER ini di antaranya Pemimpin Redaksi (Pemred) Harian Haluan Riau, Doni Rahim, Wakil Pemred Harian Vokal, Hasan Basril, serta advokat, di antaranya Sugiyarto, Mayandri Suzarman dan Suryadi.
Sebelum bersepakat membentuk FAPER, pada sesi pagi workshop, mantan Direktur Eksekutif LBH Pers Jakarta, Hendrayana, mengatakan, mekanisme proses penyelesaian sengketa akibat pemberitaan, antara lain melalui hak jawab secara proporsional.
“Hak jawab merupakan kewenangan redaksi, tidak mesti dimuat di halaman dan sesuai ukuran saat dipublikasi sebelumnya. Selain itu, kalau menempuh cara hak jawab melalui Dewan Pers (DP), lembaga ini menembuskan hak tersebut ke media bersangkutan,” kata Hendrayana.
Ia menjelaskan, dalam mediasi, DP tidak mengurusi ganti rugi dalam bentuk nominal uang, melainkan bagaimana proses hak jawab. Kapan hak jawab dimuat, tuturnya, dilakukan pada kesempatan pertama selambat-lambatnya dua edisi. Sedangkan untuk radio pada program berikutnya.
“Jangka waktu hak jawab dilakukan dua bulan sejak diberita dimuat, lebih dari itu tidak diberlaku sejak dipublikasikan. Masa daluawarsa delik pers adalah satu tahun,” tuturnya.
Dalam Surat Edaran MA (SEMA) 13 tahun 2008, jelas Hendrayana, hakim hendaknya meminta keterangan ahli dari Dewan Pers, karena mereka mengetahui seluk-beluk pers secara teori dan praktik.
“MoU dengan Kapolri, setiap kasus dilaporkan, tidak serta merta dilakukan Penyelidikan, melainkan meminta pendapat dan rekomendasi Dewan Pers. Pelanggaran etik, tidak bisa dibawa ke pidana, kecuali DP mengatakan ini ada tindakan criminal,” ungkapnya.
Di sesi tanya jawab, Wapemred Vokal, Hasan Basril mengatakan, masih ada pemimpin media enggan memuat hak jawab dengan alasan menurunkan kredibilitas media bersangkutan. (*/rls)


BERITA TERHANGAT
PGRI Riau dan Polda Riau Sepakat Perkuat Perlindungan Hukum Guru dan Gerakan Green Policing
Polda Riau Lanjutkan Operasi PETI di Inhu, Dorongan Masyarakat Jadi Spirit Utama
Sidang Praperadilan Aldiko Putra Kembali Ditunda, Polres Kuansing Dinilai Gagal Menyiapkan Pembelaan